Home

Senin, 28 Maret 2011

Penemuan Tsuchinoko - Ular Legendaris Jepang

Pada 6 Juni 2001, di sebuah kota resort bagi para peski yang bernama Mikata, Jepang ditemukan seekor reptil yang tidak biasa, yaitu reptil yang dianggap sebagai hewan mistik "Tsuchinoko", seekor makhluk berbentuk ular legendaris yang pertama kali disinggung pada abad ke-8.


Makhluk itu pertama kali disinggung dalam "Kojiki", sebuah teks kuno abad ke-8 yang merupakan sebuah manuskrip bahasa Jepang tertua di dunia. Walaupun banyak penampakan makhluk ini yang dilaporkan selama periode perang, namun laporan ini ditanggapi dengan skeptis mengingat tidak ada satupun makhluk yang pernah tertangkap untuk dipelajari.
Namun semuanya berubah, menurut pejabat pemerintah lokal bernama Toshikazu Miyawaki, makhluk yang berhasil ditangkap oleh penduduk Jepang beberapa waktu yang lalu adalah benar makhluk legendaris tersebut. "Kami memutuskan untuk membiarkan hewan ini beradaptasi dengan lingkungan barunya." Katanya. Pemerintah lokal telah membangun sebuah kandang untuk hewan tersebut.
Menurut laporan-laporan sebelumnya, Tsuchinoko adalah seekor reptil yang memiliki panjang antara 30cm - 80cm dengan kepala yang lebih besar dan taring yang beracun. Hal yang membedakannya dengan ular lain adalah ia mengeluarkan suara mencicit seperti tikus. "Menimbang ciri-ciri tersebut, kami dapat memastikan bahwa hewan itu adalah benar Tsuchinoko," Kata Miyawaki. "ketika dibawa ke balai kota, tubuhnya benar-benar tebal dan pendek. Beberapa orang juga mendengar ia mencicit.
Kota kecil Mikata sendiri sering menggunakan laporan penampakan hewan ini sebagai bahan penarik perhatian bagi para turis. Dan pada tahun 1989, walikota Tsujio Yoshida bahkan mengumumkan sayembara dengan hadiah tanah seluas 330 m2 bagi siapa saja yang bisa menangkap Tsuchinoko.
Miyawaki mengatakan bahwa hewan yang tertangkap itu memiliki panjang sekitar 70 cm ketika ditangkap pada 6 Juni 2001, sekarang telah bertumbuh hingga 1 meter. Setelah lebih dari seminggu dipamerkan ke publik di dalam aquarium plastik, reptil itu kelihatan lelah. Setelah kondisinya stabil pemerintah kota baru akan memikirkan cara meneliti hewan itu. Mungkin dengan mengambil sampel DNA dari tubuhnya.

Jadi, butuh waktu bagi orang yang menangkapnya untuk menerima hadiah tanah yang dijanjikan. "Bahkan jika ternyata hewan itu bukan Tsuchinoko, tetap saja hewan seperti itu belum pernah ditemukan sebelumnya di dunia. Saya berharap spesiesnya akan diakui oleh masyarakat dunia." Kata Miyawaki.

Kantong Semar

Kantong semar atau dalam bahasa latinnya Nepenthes sp (dalam bahasa Inggris disebut Tropical pitcher plant) adalah Genus tanaman yang termasuk dalam famili monotipik. Tanaman yang terdiri atas sedikitnya 103 spesies ini mempunyai keunikan karena hampir seluruhnya merupakan tanaman karnivora, pemakan daging. Selain karnivora juga memiliki keunikan pada bentuk, ukuran, dan corak warna kantongnya. Karenanya tidak sedikit orang yang memeliharanya. Namun keberadaan Kantong semar (Nepenthes) di habitat aslinya justru terancam kepunahan. Bahkan juni 2009 silam, LIPI mengumumkan beberapa spesies Kantong semar (untuk menghindari perburuan, nama spesiesnya dirahasiakan) sebagai tanaman paling langka di Indonesia.

Kantung Semar tumbuh tersebar mulai dari Australian bagian utara, Asia Tenggara, hingga Cina bagian selatan. Selain itu Nepenthes sp juga terdapat di Madagaskar, Kaledonia Baru, India dan Sri Lanka. Indonesia sendiri merupakan negara yang memiliki ragam spesies terbanyak. Sedikitnya terdapat 64 spesies Kantong semar di Indonesia. Dari jumlah tersebut, 32 jenis terdapat di Borneo (Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam), 29 spesies terdapat di Pulau Sumatera, 10 jenis di Pulau Sulawesi, 9 jenis di Papua, 4 jenis di Maluku dan 2 jenis di Jawa.

Di Indonesia, sebutan Kantong semar berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Beberapa nama daerah untu Kantong semar antara lain (teman-teman dari daerah lain bisa menambahkan):
  • Periuk monyet (Riau)
  • Kantong beruk (Jambi)
  • Ketakung (Bangka)
  • Sorok Raja Mantri (Jawa Barat)
  • Ketupat Napu (Dayak Katingan)
  • Telep Ujung (Dayak Bakumpai)
  • Selo Bengongong (Dayak Tunjung)

Habitat dan Ciri Fisik Kantong Semar

Tumbuhan ini mampu hidup di hutan hujan tropik dataran rendah, pegunungan, hutan gambut, hutan meranggas, gunung kapur hingga padang savana. Tumbuhan sebagian besar hidup secara empifit, yaitu menempel pada batang atau dahan pohon lain dengan panjang batang mencapai hingga 20 meter. Sementara Kantong semar yang hidup di daerah savana umumnya hidup terestrial, tumbuh tegak dengan panjang batang kurang dari 2 meter.

Pada umumnya, tumbuhan karnivora ini memiliki sulur pada ujung daunnya. Sulur ini dapat termodofikasi membentuk kantong yaitu alat perangkap yang digunakan untuk menangkap memangsanya seperti serangga dan kodok. Kantong ini sendiri secara keseluruhan terdiri atas lima bentuk, yaitu tempayan, oval, silinder, corong dang pinggang.

Tumbuhan karnivora ini termasuk jenis flora berumah dua. Artinya, tiap tanaman hanya memiliki satu jenis kelamin bunga. Jadi untuk bisa menghasilkan keturunan, si Karnivora ini musti melakukan perkawinan silang. Hal itulah yang menyebabkan banyak terdapat species Nepenthes yang terlahir dari hasil persilangan alami. Kantong semar juga dapat berkembang biak secara vegetatif dengan menggunakan tunas.

Kantong Semar yang Karnivora

Sewaktu daun masih muda, Kantong  pemangsa pada Nepenthes tertutup. Lantas, membuka ketika sudah dewasa. Namun bukan berarti kantung flora karnivora ini menutup sewaktu masih muda saja. Ia menutup diri ketika sedang mengganyang mangsa. Tujuannya supaya proses pencernaan berjalan lancar dan tidak diganggu kawanan musuh yang siap merebut makanan yang sudah ia peroleh.

Bibir lubang kantung dilengkapi dengan alat penipu. Organ itu berwarna merah serta mampu menebarkan aroma manis. Warna bibir Kantong Semar yang merona serta beraroma manis itu akan memikat dan membuat lengah calon mangsa. Binatang yang terpikat akan tergelincir masuk ke dalam kantung antara yang licin. Cairan asam (enzim proteolase) yang berada dalam kantung tengah lalu mencerna tubuh mangsa itu. Tubuh mangsa naas itu kemudian diolah menjadi garam Posphat dan nitrat yang kemudian diserap oleh kantong Semar.

Tidak semua jenis Kantong Semar  memiliki mangsa favorit yang sama. Semut adalah menu kesukaan bagi  Nepenthes mirabilis namun ada juga yang menyukai rayap seperti N. albomarginata. Ada pula species katung semar yang “vegetarian” alias tak suka menyantap daging tetapi melalap guguran dedaunan dari tumbuhan yang berada di atasnya (Nepenthes ampullaria). Bahkan ada Kantung Semar yang menyukai kotoran burung (Nepenthes lowii).

Kantong Semar yang Semakin Langka

Kantong Semar termasuk tumbuhan yang langka dan beberapa jenis (non hibrida) mendekati kepunahan. Dari 386 jenis fauna Indonesia yang terdaftar dalam kategori “terancam punah” oleh IUCN, beberapa spesies Kantong semar berada di dalamnya. Bahkan LIPI mengumumkan beberapa spesies Kantong semar (untuk menghindari perburuan, nama spesiesnya dirahasiakan) sebagai tanaman paling langka di Indonesia.

Karenanya tanaman ini dilindungi berdasarkan Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Hayati dan Ekosistemnya. Juga peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Covention of  International Trade in Endangered Species (CITES) mengategorikannya dalam Appendix-1 (2 spesies) dan Appendix-2.

Kelangkaan Kantong Semar (Nepenthes) antara lain disebabkan oleh pembukaan hutan, kebakaran hutan, dan eksploitasi untuk kepentingan bisnis. Yang terkadang membuat saya miris, konon, lantaran kekurangpahaman tidak sedikit masyarakat yang mengeksploitasi Kantong Semar untuk kepentingan bisnis dengan mengambilnya di alam bebas kemudian menjualnya dengan harga mulai dari 25 ribu rupiah. Sebuah harga yang sangat tidak sebanding dengan kelangkaan flora ini.

Klasifikasi ilmiah: Kerajaan: Plantae; Divisi: Magnoliophyta; Kelas: Magnoliopsida; Ordo: Caryophyllales; Famili: Nepenthaceae; Genus: Nepenthes; Spesies (antara lain) Nepenthes edwardsiana, N. mirabilis, N. albomarginata, N. ampullaria, N. lowii, N. burbidgeae, N. Lowii, N. Rajah, N. Villosa, N.Fusca, N.Sanguinea, N. alata, N. egmae, N. khasiana, N. mirabilis, N. ventricosa, N. ampullaria, N. bicalcarata, N. gracilis dan N. Maxima dan lain-lain.

Anggrek Bulan Puspa Pesona Indonesia

Anggrek bulan (Phalaenopsis amabilis) merupakan salah satu bunga nasional Indonesia, Anggrek bulan (Phalaenopsis amabilis) ditetapkan sebagai Puspa Pesona Indonesia mendampingi bunga melati (Jasminum sambac) yang ditetapkan sebagai puspa bangsa Indonesia dan padma raksasa (Rafflesia arnoldii)  sebagai puspa langka Indonesia.

Anggrek bulan (Phalaenopsis amabilis) merupakan salah satu anggota genus Phalaenopsis, genus yang pertama kali ditemukan oleh seorang ahli botani Belanda, Dr. C.L. Blume. Phalaenopsis sendiri sedikitnya terdiri atas 60 jenis (spesies) dengan sekitar 140 varietas yang 60 varietas diantaranya terdapat di Indonesia.

Di Indonesia, anggrek bulan (Phalaenopsis amabilis) pertama kali ditemukan di Maluku. Anggrek bulan memiliki beberapa nama daerah seperti anggrek wulan (Jawa dan Bali), anggrek terbang (Maluku), dan anggrek menur (Jawa). Pemerintah menetapkan anggrek bulan sebagai puspa pesona mendampingi melati (puspa bangsa), dan padma raksasa (puspa langka) berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1993.

Pesona Anggrek bulan (Phalaenopsis amabilis) merupakan jenis anggrek (Orchidaceae) yang mempunyai ciri khas kelopak bunga yang lebar dan berwarna putih. Meskipun saat ini sudah banyak anggrek bulan hasil persilangan (anggrek bulan hibrida) yang memiliki corak dan warna beragam jenis.

Anggrek bulan (Phalaenopsis amabilis) termasuk dalam tanaman anggrek monopodial yang menyukai sedikit cahaya matahari sebagai penunjang hidupnya. Daunnya berwarna hijau dengan bentuk memanjang. Akar anggrek bulan berwarna putih berbentuk bulat memanjang dan terasa berdaging. Bunga anggrek bulan memiliki sedikit keharuman dan waktu mekar yang lama serta dapat tumbuh hingga diameter 10 cm lebih.

Anggrek bulan (Phalaenopsis amabilis) tumbuh liar dan tersebar luas mulai dari Malaysia, Indonesia, Filipina, Papua, hingga ke Australia. Anggrek bulan hidup secara epifit dengan menempel pada batang atau cabang pohon di hutan-hutan. Secara liar anggrek bulan mampu tumbuh subur hingga ketinggian 600 meter dpl. 

Lantaran keindahannya itu wajar jika kemudian anggrek bulan ditetapkan sebagai puspa pesona, satu diantara 3 bunga nasional Indonesia. Anggrek bulan ditetapkan sebagai puspa pesona mendampingi melati (puspa bangsa) dan padma raksasa (puspa langka). Meskipun banyak pehobi anggrek yang membudidayakan anggrek bulan. Juga banyak yang melakukan persilangan sehingga memunculkan varietas-varietas baru anggrek bulan hibrida, namun kelestarian puspa pesona ini di alam liar tetap semakin terdesak oleh hilangnya habitat sebagai akibat deforestasi hutan baik akibat penebangan liar ataupun kebakaran hutan. Anggrek bulan di alam liar kini membutuhkan perhatian tersendiri. Jangan sampai sang puspa pesona memudar pesonanya.


Klasifikasi ilmiah. Kerajaan: Plantae; Ordo: Asparagales; Familia: Orchidaceae; Subsuku: Epidendroideae; Genus: Phalaenopsis; Spesies: Phalaenopsis amabilis
Sinonim: Epidendrum amabile L. (basionym); Cymbidium amabile (L.) Roxb.; Synadena amabilis (L.) Raf.; Phalaenopsis grandiflora Lindl.; Phalaenopsis grandiflora var. aurea auct.; Phalaenopsis amabilis var. aurea (auct.) Rolfe; Phalaenopsis gloriosa Rchb.f.

Jumat, 25 Maret 2011

Burung Maleo

Burung Maleo Senkawor atau Maleo (Macrocephalon Maleo) adalah salah satu burung endemik asli Indonesia. Burung Maleo merupakan maskot fauna dari provinsi Sulawesi Tengah, karena dari sinilah burung ini berasal. Burung Maleo berukuran sedang, dengan panjang dewasa sekitar 55cm dan merupakan satu-satunya burung di dalam genus tunggal Macrocephalon. Habitat burung ini adalah di sekitar daerah berpasir dan pantai, karena disinilah burung ini bertelur. 

Burung Maleo memiliki ciri-ciri sebagai berikut : 
  1. memiliki bulu berwana hitam.
  2. kulit di sekitar matanya berwarna kuning.
  3. iris matanya merah kecoklatan.
  4. kaki berwarna abu-abu.
  5. paruhnya berwarna jingga.
  6. di atas kepalanya memiliki tanduk atau jambul yang berwarna hitam.
  7. Burung betina berukuran lebih kecil dan memiliki warna yang lebih gelap dari pada pejantan. 

    maleo jantan (kanan) dan maleo betina (kiri)


    Keunikan burung maleo adalah saat baru menetas dari telurnya, anak burung maleo sudah bisa terbang. Hal ini dikarenakan nutrisi yang terdapat dalam telur maleo lima kali lipat lebih besar dari pada telur ayam biasa. Burung Maleo juga terkenal dengan kesetiaannya pada sang kekasih atau pasangannya yang membuat burung ini terkenal dengan anti poligaminya (monogami), sehingga jika salah satu dari pasangan ini mati mereka takan bisa bertelur lagi.

    Akan tetapi, telur burung ini banyak diburu manusia untuk dimakan sehingga populasi burung ini terus menurun setiap tahunnya dan membuat nama burung ini masuk dalam daftar "terancam punah" di dalam IUCN (International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources). Burung maleo juga masuk dalam daftar CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) Appendix 1.


    Klasifikasi Ilmiah
    Nama Binomial : Macrocephalon Maleo
    Kerajaan : Vetrebrata
    Kelas : Aves
    Ordo : Galliformes
    Famili : Megapodiidae
    Genus : Macrocephalon
    Spesies : M. Maleo

    Selasa, 22 Maret 2011

    Hiu Banteng


    Hiu Banteng (Carcharhinus leucas) adalah hiu yang bisa hidup di air asin (laut) dan air tawar (sungai). Hiu ini di Afrika di kenal dengan nama Hiu Zambezi atau Zambi, sedangkan di Nicaragua hiu ini dikenal dengan nama Hiu Nicaragua. Hiu ini hidup di perairan dangkal dan di perairan pantai yang hangat. Hiu ini dikenal karena tingkah lakunya yang tidak dapat diprediksi, karena sifatnya terkadang pasif terhadap penyelam atau manusia, terkadang juga agresif terhadap penyelam atau manusia. Hiu ini memiliki mekanisme pertahanan dan penyerangan yang baik, karena kulit, gigi, dan rahamnya yang tekenal keras dan kuat, sehingga memungkinkan hiu ini menyerang mangsanya tanpa terluka sedikitpun. Hiu ini bisa tinggal didaerah padat manusia di tepi-tepi pantai tropis. Hiu jenis ini bahkan tidak mempedulikan bahwa mereka masuk ke daerah air payau atau bahkan masuk ke sungai berair tawar.

    Seekor Hiu Banteng bahkan pernah ditemukan ribuan mil jauh di dalam sungai Amazon, bahkan di Nikaragua pernah ditemukan Hiu Banteng yang berusaha masuk ke sebuah danau di daratan dengan melawan arus sungai seperti halnya seekor ikan salmon.Karena sifat karakteristik tersebut, banyak ahli Hiu menyatakan hiu jenis ini termasuk Hiu yang paling berbahya di dunia. Hiu Banteng bersepupu dengan Hiu Putih dan Hiu Macan, 3 dari spesies hiu yang sering diberitakan menyerang manusia.

    Hiu Banteng mendapatkan namanya dari moncongnya yang pendek dan tumpul dan sifat mereka yang sering berkelahi dan ada kecenderungan untuk menanduk (menabrak) mangsa mereka sebelum menyerang seperti halnya banteng. Ukuran Hiu ini digolongkan ke dalam jenis Hiu berukuran medium, berbadan cukup gemuk dengan sirip yang cukup besar. Warna tubuh mereka adalah abu-abu dibagian atas dan putih dibagian bawah, dimana ujung siripnya memiliki tanda berwarna hitam terutama untuk Hiu banteng yang masih muda.

    Hiu ini sering ditemukan menjelajah daerah yang dangkal, daerah air yang hangat diseluruh lautan dunia. Bergerak cepat dan termasuk kedalam jenis predator yang cerdas. Mereka akan memakan apapun yang mereka bisa lihat, termasuk ikan, lumba-lumba, atau bahkan Hiu lainnya.

    Saat ini Hiu Banteng tidak termasuk kedalam jenis Hiu yang terancam punah. Tetapi, bagaimanapun mereka sering ditangkap untuk dijadikan santapan manusia, diambil kulitnya, pembuatan minyak hiu yang mengakibatkan jumlah mereka terus menyusut. Satu penelitian mengatakan bahwa jumlah mereka semakin menurun dibandingkan dekade sebelumnya.
    Hiu Banteng
    Klasifikasi ilmiah
    Nama binomial: Carcharhinus leucas
    Kerajaan: Animalia
    Filum: Chordata
    Kelas: Chondrichthyes
    Upakelas: Elasmobranchii
    Ordo: Carcharhiniformes
    Famili: Carcharhinidae
    Genus: Carcharhinus
    Spesies: C. leucas